Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Swasembada Aspal Itu Wajib Negara, Bukan Pilihan Pasar!

Sabtu, 7 Juni 2025 15:30 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi pengaspalan
Iklan

Negara harus memimpin orkestra ini. Karena swasembada aspal adalah misi kebangsaan, bukan sekadar transaksi bisnis.

***

Di tengah semangat membangun negeri yang semakin masif, kebutuhan akan aspal sebagai bahan utama infrastruktur jalan menjadi sangat penting. Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan ambisi konektivitas yang luas, tentu memerlukan pasokan aspal yang stabil, berkualitas, dan berkelanjutan. Di sinilah pentingnya membicarakan kembali konsep swasembada aspal sebagai bagian dari kemandirian nasional.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu potensi besar yang sering terlupakan adalah keberadaan aspal alam Buton di Sulawesi Tenggara. Dikenal sejak era kolonial dan bahkan pernah diekspor, aspal Buton adalah aset nasional yang sangat strategis. Cadangan yang mencapai lebih dari 650 juta ton menjadikannya salah satu yang terbesar di dunia. Namun, potensi ini belum sepenuhnya menjadi bagian dari arsitektur pembangunan nasional.

Bukan berarti pemerintah tidak peduli. Banyak langkah awal telah dilakukan, termasuk kajian teknis dan uji coba pemanfaatan. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa aspal Buton belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan infrastruktur nasional. Di sinilah pentingnya mendorong negara mengambil peran lebih aktif, bukan sekadar menyerahkan semuanya pada dinamika pasar dan swasta.

Swasembada aspal bukan hanya soal efisiensi ekonomi. Ini juga tentang kedaulatan sumber daya. Jika negara terus bergantung pada aspal impor, maka ada ketergantungan jangka panjang yang berisiko terhadap kestabilan pembangunan, terlebih dalam kondisi krisis global atau fluktuasi harga. Oleh karena itu, swasembada aspal harus menjadi bagian dari agenda nasional, seperti halnya swasembada pangan dan energi.

Memang benar, sektor swasta memiliki peran penting dalam menggerakkan industri. Namun untuk sektor strategis seperti aspal, negara wajib hadir sebagai pengatur dan pelindung. Pasar tidak selalu mampu melihat kepentingan jangka panjang bangsa, karena ia bekerja berdasarkan logika keuntungan. Di sinilah negara berperan sebagai penyeimbang.

Agar ini tidak hanya menjadi wacana, perlu ada keberpihakan nyata dalam kebijakan nasional. Misalnya, dengan menetapkan aspal Buton sebagai bahan baku wajib untuk proyek-proyek infrastruktur tertentu, atau memberi insentif fiskal kepada BUMN dan swasta yang menggunakan aspal lokal. Kebijakan seperti ini akan memberi sinyal kuat bahwa negara hadir untuk mendukung potensi daerah.

Selain itu, perlu dibangun ekosistem industri hilir di sekitar tambang aspal Buton. Industri pengolahan, laboratorium pengujian, hingga pusat inovasi bisa dikembangkan di wilayah tersebut. Ini tidak hanya akan memperkuat posisi aspal Buton dalam mata rantai pasok nasional, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal secara lebih merata.

Langkah-langkah ini tentu membutuhkan koordinasi antarkementerian dan pemda. Tetapi sejarah telah membuktikan, bahwa setiap keberhasilan besar selalu dimulai dari keputusan strategis yang berpihak. Kuncinya adalah keseriusan untuk menjadikan potensi dalam negeri sebagai prioritas, bukan cadangan.

Kita memahami bahwa proses menuju swasembada aspal tidak bisa instan. Dibutuhkan waktu, investasi, dan adaptasi teknologi. Tetapi jika dimulai dari sekarang, dalam beberapa tahun kedepan Indonesia pasti bisa memiliki sistem aspal nasional yang kuat, mandiri, dan berdaulat.

Tidak kalah penting, perlu peningkatan kepercayaan publik terhadap kualitas aspal Buton. Ini bisa dilakukan lewat kampanye informasi yang edukatif dan transparansi dalam uji coba proyek. Keberhasilan di lapangan akan menjawab keraguan yang selama ini masih tersisa.

Kita juga bisa belajar dari negara-negara lain yang mampu mengelola sumber daya strategisnya secara mandiri. Negara seperti Norwegia dengan migas, atau India dengan baja dan tekstil, menunjukkan bahwa ketika negara hadir secara serius, hasilnya bukan hanya efisiensi tetapi juga harga diri nasional yang terjaga.

Swasembada aspal juga membawa efek berganda. Selain mengurangi ketergantungan impor, ini akan membuka lapangan kerja baru, memberdayakan daerah, dan memperkecil kesenjangan antarwilayah. Pembangunan tidak lagi terpusat di kota besar, tetapi menjalar sampai ke pinggiran.

Tentu tidak semua permasalahan bisa diselesaikan sekaligus. Tetapi keputusan untuk memulai adalah langkah paling penting. Pemerintah bisa memulainya dengan roadmap jangka pendek dan jangka panjang yang realistis namun progresif, dengan target jelas dan melibatkan semua pemangku kepentingan.

Kita tidak bicara soal nasionalisme kosong. Yang dimaksud adalah keberanian untuk memprioritaskan apa yang kita miliki, sambil tetap terbuka terhadap pembelajaran dan inovasi dari luar. Swasembada bukan tentang menutup diri, tetapi tentang berdiri tegak dengan kaki sendiri.

Presiden Prabowo Subianto, dalam buku Paradoks Indonesia, menulis tentang bagaimana negeri ini kaya raya namun belum bisa mensejahterakan rakyatnya. Aspal Buton adalah bagian dari paradoks itu. Jika bisa diangkat sebagai kebijakan strategis, maka ini bukan hanya menyelesaikan masalah teknis, tetapi juga menjawab kegelisahan ideologis tentang kedaulatan ekonomi.

Pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Dunia akademik, pelaku industri, dan masyarakat sipil perlu ikut serta. Tetapi negara harus memimpin orkestra ini. Karena swasembada aspal adalah misi kebangsaan, bukan sekadar transaksi bisnis.

Di tengah tantangan global dan persaingan pasar bebas, Indonesia harus belajar banyak untuk memperkuat fondasinya dari dalam. Dan aspal Buton adalah salah satu fondasi itu. Terlalu lama ia dibiarkan menunggu dalam diam. Sudah saatnya ia diberi peran penting yang setara dalam pembangunan nasional.

Akhirnya, kita percaya bahwa negara yang besar adalah negara yang berani memanfaatkan potensi kecil dengan cara besar. Aspal Buton mungkin terlihat sederhana, tetapi dampaknya bisa sangat besar jika ditangani dengan visi yang utuh.

Swasembada aspal bukan utopia. Ia bisa dicapai jika semua pihak menyadari bahwa kemandirian itu bukan pilihan opsional, tetapi keharusan, bahkan kewajiban. Dan tanggung jawab terbesar itu ada di tangan negara, bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai pemimpin perubahan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua